Malam Minggu kali ini terasa beda. Cuaca memang cerah sejak sore hari ini meski sempat mendung dan gerimis pada pagi hari tadi. Langit di atas kota Pekalongan biru cerah bertabur bintang. Bulan bersinar terang meski tidak bundar penuh. Tak ada selaput awan sedikit pun. Cuaca yang biasanya selalu didamba Lovie. Tapi tidak untuk kali ini!
Sejak siang tadi gadis itu merasa ingin memintas waktu hingga tak perlu melewati malam Minggu. Bahkan seusai sekolah siang tadi Lovie tidak berlama-lama menunggu angkutan umum bersama teman-teman seperti biasanya. Dia enggan berkumpul bersama mereka di tepi jalan di bawah kerindangan akasia. Biasanya memang dia tidak langsung pulang meski ada angkutan lewat.
Kepada Ratna, yang melangkah dari kelas bersamanya, Lovie hanya bilang bahwa dia mempunyai tugas di rumah yang harus segera diselesaikan. Padahal tidak ada tugas apa pun. Lovie hanya tak ingin mendengar pembicaraan teman-temannya tentang rencana malam Minggu mereka nanti. Sedang ia tak mempunyai rencana apa pun, dan malam Minggu kali ini adalah malam Minggu kelam untuknya. Malam Minggu kali ini tak ada rencana-rencana indah. Malam Minggu kali ini Yudith tak akan datang!.
Lovie merasa nelangsa. Merasa menjadi gadis remaja paling malang. Dua hari lalu Yudith memutuskan hubungan dengannya. Putus dengan alasan yang terkesan dibuat-buat.
“Kita sudah kelas tiga, Vie. Kita musti berkonsentrasi pada ujian yang tinggal tiga bulan lagi,” begitu kata Yudith.
“Tapi aku tidak merasa terganggu, Yud,” ujar Lovie. “Aku bisa membagi waktu dan pikiranku….”
“Tapi aku tidak,” Yudith menyela. “Kuharap kamu bisa mengerti.”
Apa yang harus dimengerti? Tak ada, selain bahwa Yudith tak lagi peduli dengannya. Tak mau mengerti dirinya.
Lovie menghela napas dalam, memenuhi dadanya yang sesak. Sedari tadi gadis itu berusaha tidur agar dapat memintas malam Minggu ini. Namun matanya tak juga mau terpejam. Kenelangsaan dadanya masih membutuhkan waktu untuk meratap.
Dia bangkit. Melangkah menuju meja belajarnya. Meraih sebuah foto dalam bingkai duduk di samping miniset audio-nya yang mengalunkan lagu dari stasiun radio favoritnya.
“Paramuda Pekalongan, yang tengah apel atau diapelin…”
Shit! Jemari Lovie menekan tombol power, sekonyong suara penyiarnya terdengar. “Semua tengah menikmati kebahagiaan di malam Minggu ini, kecuali aku,” batin Lovie merintih. Terbayang di benaknya malam Minggu-malam Minggu yang terlewat. Terbayang juga teman-temannya yang tengah menikmati suasana romantis malam ini. Dan nelangsanya kian menggumpal.
Ringtones ponsel Lovie berdering mengabarkan pesan masuk. Gadis itu meraih ponsel kecil warna biru mudanya dengan penuh harap. Namun SMS itu bukan dari Yudith, melainkan dari Ratna.
Cerah, nih. Aku lagi sama Roni di pantai. Kamu mojok di mana?
Lovie tak menjawab. Dia justru mematikan ponselnya. Tidak, Yudith tak akan menghubunginya lagi. Yudith benar-benar serius dengan keputusannya. Mungkin juga, cowok itu kini tengah mengapeli kekasih barunya.
Lovie sedikit tergagap. “Tidak, tidak apa-apa. Just asking. Maksudku… syukurlah dia sudah menemukan pacar.”
Mita mengangguk. “Yah.... Aku tahu, kamu nggak suka dia ngejar-ngejar kamu. Tapi setidaknya dia nggak patah hati, terus jadi pertapa,” ujarnya sembari tertawa kecil.
Lovie tersenyum hambar. Beberapa hari ini dia memang sibuk mencari pacar. Dia sudah mencoba mendekati cowok-cowok lain. Sudah pula membuka mata dan telinga untuk mendapatkan pengganti Yudith. Bahkan mencoba mencari tahu tentang Dino. Teman kursus Mita itu pernah minta dicomblangi dengan Lovie. Lovie menolaknya meski Dino cukup layak untuk dijadikan pacar. Meski tidak terlalu tampan, Dino masih terhitung lumayan. Sayangnya saat itu Lovie sudah memiliki Yudith.
Sekarang, ketika Yudith meninggalkannya, Dino telah mempunyai pacar.
Memang ada juga yang mencoba mendekati Lovie. Ada Landung, yang jago matematika namun bertampang terlalu pas-pasan. Ada Tito, sang casanova, tukang koleksi pacar. Ada Dimas…. Tapi kalau terlalu kalah jauh dibandingkan Yudith, untuk apa?
Lovie hopeless. Dia tak tahu, berapa malam Minggu lagi musti dilaluinya tanpa pacar. Tak tahu, masihkah kuat menahan perih mendengar celoteh teman-temannya tentang pacar-pacar mereka. Tentang malam Minggu mereka.
Tiga malam Minggu sudah Lovie suntuk di rumah. Dia malas melakukan apa pun. Malas keluar dan hanya berdiam diri di kamar. Lagu-lagu melankolis dia putar berulang-ulang. Foto Yudith telah ia robek menjadi serpihan kecil dan dia lempar ke tempat sampah.
Setiap hari Sabtu tiba, Lovie senewen sendiri. Uring-uringan tak karuan. Hal sepele apa pun bisa menjadi persoalan besar. Pertanyaan Bunda tentang sekolahnya, dia jawab dengan ketus. Ratna, yang berceloteh tentang kafe Romantic’s Cafe yang baru buka, membuatnya marah-marah.
Jika saja boleh meminta, Lovie ingin malam Minggu di-delete dari daftar hari. Atau ingin semua temannya merasai tak punya pacar dan senelangsa dirinya.
Lovie benci malam Minggu. Toh malam Minggu tetap saja ada, tanpa peduli Lovie menginginkannya atau tidak.
Lovie menarik rambutnya sendiri, berharap bisa sedikit meredakan keresahan. Menghempaskan napas keras. Memukul-mukul bantal gulingnya. Rasa sunyi itu kian menusuk. Pepat otaknya kian menjadi.
Gadis itu melemparkan guling hingga membentur dinding dan menimbulkan suara gedebuk sebelum terlempar ke lantai. Seprei biru muda berornamen bunga-bunga kecilnya berantakan. Kusut seperti mukanya yang ditekuk.
Pintu kamar Lovie diketuk. Bunda memanggil namanya. Lovie menyahut ogah-ogahan. Lalu melangkah untuk menguak pintu kamarnya.
“Tolong anterkan jahitan ke rumah Tante Yuyun, ya?” kata ibunya. “Besok mau dipakai buat menghadiri wisuda Pupung.”
Lovie mengangguk ogah-ogahan. Sebenarnya dia malas keluar. Dia tak mau melihat remaja lain asyik menikmati malam panjang mereka. Tapi untuk menolak, Lovie tak bisa. Siapa lagi yang bisa Bunda suruh selain dia? Kalau saja Randu tidak kuliah di kota lain, mungkin dia bisa mengalihkan ke kakaknya itu.
Yeni, anak bungsu Tante Yuyun yang seusia dengannya, tengah bermain catur dengan papanya ketika Lovie sampai di rumah tantenya itu. Dia langsung menyudahi permainannya dan mengajak Lovie ke kamar. Berceloteh riang dan membiarkan Lovie menjadi pendengar yang menurut saja.
“Tumben nggak ada acara malam Minggu,” kata Yeni setelah Tante Yuyun menyuguhkan minum untuk Lovie. Gadis itu meneguk teh hangatnya.
“Aku sudah putus sama Yudith,” sahut Lovie.
“Pantas saja mukamu kusut begitu.”
Tarikan napas Lovie panjang dan dalam. Direbahkan tubuhnya di tempat tidur sepupunya yang rapi dengan kaki masih menjuntai.
“Oh, come on, Babe…. Jangan nglokro begitu. Nggak punya pacar bukan suatu bencana, kan?” bujuk Yeni. “Aku punya VCD bagus. Mau nonton?” Lovie menggeleng lemah.
“Kau seperti pecundang kalah perang saja,” sepupu Lovie itu mengolok-olok.
Lovie memperdengarkan desahannya. “Kamu tidak tahu bagaimana nelangsanya di malam Minggu tidak punya pacar,” dia mengeluh. Yeni tersenyum menanggapi.
“Memang tidak, Vie,” sahutnya dengan kalimat menggantung, menarik perhatian Lovie. “Namun aku tahu bagaimana senangnya di malam Minggu tidak punya pacar,” katanya sembari tersenyum simpul.
“Hanya olok-olok, kan?”
Kepala Yeni tergeleng tegas. “Juga bukan topeng kemunafikan, asal kamu tahu.”
“Apa?”
Belum dijawab, pintu kamar Yeni diketuk.
“Papamu ngajak jalan-jalan. Kalian mau ikut?” mama Yeni menawarkan. Yeni meminta pendapat Lovie, yang hanya diam.
“Nggak deh, Ma. Kali ini Yeni di rumah saja. Tapi jangan lupa oleh-olehnya,” sahut Yeni kemudian.
“Ya udah. Jaga rumah, ya?”
“Siiip! Met kencan, Bunda…,” Yeni meledek. Ia tertawa, kemudian demi mamanya memperlebar mata. Lovie, yang mengamati, ikutan tersenyum. Ada yang bergolak di dadanya. Ada yang tiba-tiba ia rindukan. Kebersamaan itu!
“Bundaaa… buruan!” teriak Lovie dari depan. “Dandannya jangan lama-lama. Udah cantik gitu, kok!” katanya sembari terkikik. Lalu menoleh ke samping, pada ayahnya, yang telah siap di belakang kemudi. Ayah membisikinya sesuatu. Lovie tersenyum.
“Kalau kelamaan, ditinggal, neeeh…! Biar Ayah bisa cari Bunda baru!”
Bunda keluar dengan tergopoh. “Coba aja cari Bunda baru… Huh!” Bunda ngomel sembari masih sibuk membenahi kerudungnya. “Memangnya ada Bunda lain yang secantik ini?”
Lovie menoleh pada ayahnya. Lalu bersamaan mereka tertawa. Ah… Indahnya! Kenapa selama ini dia musti mencari kebahagiaan semu dan mengabaikan kebahagiaan hakiki? Mencari cinta dari orang lain yang entah siapa, sedang begitu banyak cinta tulus berlimpah dari keluarga? Dari sahabat?
Lovie tersenyum pada langit malam yang cerah. Malam Minggu kali ini terasa beda….